Minggu, 06 April 2008

MAULID NABI MUHAMMAD SAW DI DESA WISATA RELIGIUS BUBOHU BONGO BATUDAA PANTAI KABUPATEN GORONTALO



Setiap tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Hijriah masyarakat muslim di Indonesia mengenal perayaan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW dengan istilah Maulid, di Gorontalo Maulid Nabi dirayakan dengan membuat Walima (Kreasi Seni Kue Tradisional) pada bulan Rabiul Awal dimulai pada tanggal 12 setiap Masjid-masjid diseluruh pelosok Gorontalo diramaikan oleh umat islam yang berzikir dimulai setelah isya sampai jam 11 pagi atau sekitar 15-16 jam. Pada akhir doa zikir Pengunjung dan Pezikir mendapatkan kue Walima.


Disalah satu Desa di Kabupaten Gorontalo yaitu Desa Bongo Kecamatan Batudaa Pantai pada Hari Minggu Tanggal 23 Maret 2008 perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dirayakan dengan membuat dan mengarak Walima secara kolosal ke Masjid. Desa yang telah ditetapkan sebagai Desa Wisata Religius ini menjadi tujuan Wisatawan Lokal yang mencapi puluhan ribu untuk menyaksikan Parade Walima yang tahun ini untuk tujuan Pariwisata dikemas dalam bentuk acara Parade dan Festival Walima I Se-Provinsi Gorontalo.


Kue tradisional yang dikreasi Tahun ini lebih kurang mencapai 700.000 biji kue. Acara ini dikemas menjadi Parade dan Festival Walima adalah membantu Program Pemerintah dalam hal melestaraikan budaya untuk penunjang pariwisata, dan lebih terpenting lagi ikut serta memikirkan budaya nusantara menjadi identitas diri untuk membangun Indonesia.
CATATAN :
Dalam acara Parade dan Festival Walima Se-Provinsi Gorontalo selain Walima dari masyarakat Bongo dan masyarakat lainnya di seluruh Provinsi Gorontalo juga banyak terdapat Walima dari masyarakat Gorontalo yang berada di Jakarta.

1 komentar:

Fadli Tribun mengatakan...

Pasar Subuh dan Barter,
Keunikan Lain Desa Bongo

Fadli Poli,
Wartawan TRIBUN GORONTALO

Desa Bongo, tidak hanya dikenal sebagai Desa yang kerap menggelar Walima (salah satu tradisi orang-orang Gorontalo ‘tempo doeloe’ yang hingga kini masih terpelihara). Tapi di Desa yang terletak dipesisir teluk Tomini ini juga masih menyimpan keunikan lain, yakni gelaran Pasar Subuh. Di Pasar ini, masih ada sebagian warga yang melakukan transaksi tukar menukar barang dengan tidak menggunakan uang sebagai alat pembayaran (Barter).

Dengan langkah agak terseok-seok, sambil memikul Kelapa yang diikat didua ujung sebuah bambu, kakek 60 tahun itu melangkah pelan menyusuri jalan menuju Pasar Subuh, Desa Bongo. Meski terlihat agak letih, namun tak setetas pun peluh mengalir dari raut wajah yang keriput itu. Maklum, udara saat itu masih lembab dan dingin waktu Subuh, dan peluh pun enggan keluar dari pori-pori.
“Kakek itu baru saja menempuh perjalanan jauh. Dia tinggal di daerah pengunungan, tepatnya dipegunungan perbatasan Desa Bongo dan Kelurahan Potanga wilayah Kota Gorontalo. Setiap gelar Pasar Subuh, kakek itu muncul membawa buah Kelapa yang berasal dari kebunnya dilereng bukit. Jarak tempuh antara tempat tinggalnya dengan Pasar Subuh ini, terbilang lumayan jauh untuk ukuran orang yang biasa naik turun gunung. Biasanya, mulai pukul 3 subuh, kakek itu berangkat dari rumahnya menuju Pasar Subuh ini,” celetuk Yosep Tahir Ma`ruf. Yosep tahu persis tentang seluk beluk dan latar belakang kakek 60 tahun itu, sebab Yosep lahir dan dibesarkan di daerah perbukitan Desa Bongo.
“Tapi, keberadaan kakek itu di Pasar Subuh ini, bukan untuk menjual buah Kelapa yang ditentengnya dari gunung itu. Tapi, buah Kelapa itu akan dibarter dengan bahan makanan yang dibutuhkan selama berada di gunung, menunggu hingga gelaran Pasar Subuh berikutnya,” kata Yosep.
Tapi, menurut Yosep, sesekali saja kakek itu terpaksa harus menjual Kelapa miliknya itu, kalau ada warga yang menginginkan buah Kelapa yang masih mengkal itu. Memang pada umumnya pedagang di pasar Subuh ini mengunakan uang sebagai alat bayar. Tapi, beberapa warga, khusunya mereka yang tinggal di daerah perbukitan, masih memberlakukan sistem Barter. Uang memang bukan segala-galanya. Yang terpenting adalah bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi.***